Senin, 22 Juli 2013

Harapan yang Rampas





















Kau dan aku dalam penyaksian senja.
Kita sama-sama menembus dada cakrawala,
perbincangan menyeruak antara kau dan aku.

Kataku;
Ijinkan aku mencintaimu
tak seperti apapun,
tak juga aku menjadi kau,
tak juga kau menjadi aku.

Katamu;
Tutuplah matamu rapat-rapat,
saat belati tajam merobek jantung.
Belati itu ada di tanganmu,
darahnya mengalir deras.
Tak akan kuobati, nikmati saja,
segala kesakitanmu, tanpa dapat kautolak.

Kataku;
Ini belati yang kurampas darimu,
darahnya hanyalah seikat mawar yang kuperas.
Bagaimana aku mau terobati,
jika engkau juga tak mau mencabutnya?

Katamu;
Biarkan…biarkan saja,
nikmati segala kesakitanmu.
Rasakan perihku juga perihmu,
luka yang menjadi kenangan,
mencintai sepenuh nafsu saling menyakiti.

Kataku;
Ijinkan aku memelukmu,
terbunuh oleh besarnya cintamu,
tersakiti oleh gelak canda tawamu,
teriris-iris sembilu senyummu,
lalu nebula otakku terjajah olehmu,
saat kutersadar duri-duri mawarmu melukai jemariku.

Kau dan aku terengah, wajah kita berhadapan,
kita seperti sedang bercermin dalam dendam,
tak bisakah kita akhiri semua ini?

Katamu;
Cinta akan melahirkan kemanutan juga penentang,
selami kedalaman hatimu yang terselubung kaca.
Rasakan saat air matamu bergulir,
masa depan adalah sebuah harapan suci,
maknai harapan yang terampas oleh masa lalu.

Kataku;
Cintailah aku, apa adanya diriku…

***


Kolaborasi Coretan Embun & Ramadhan Al fatih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar